Hampir setahun bergabung dengan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Theresia Dwi Suryaningrum masih serba bingung. Mantan peneliti Balai Besar Riset Pengolahan Produk dan Bioteknologi Kelautan dan Perikanan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) mengaku masih kesulitan menjalankan riset di tempat kerjanya yang baru.
"Peralatan dan laboratorium yang kami butuhkan itu tidak ada. Sementara, laboratorium di KKP yang dulu kami gunakan juga terbengkalai. KKP tidak mau memelihara alat-alat itu. Jadinya, mubazir," kata Theresia kepada Alinea.id, Minggu (22/1).
Bersama 22 peneliti eks KKP lainnya, Theresia bergabung dengan BRIN sejak Mei 2022. Di KKP, ia meneliti teknologi pengolahan ikan. Sejumlah peralatan khusus dibutuhkan untuk jenis riset tersebut, semisal rantai dingin, aliran air, dan meja reparasi. Sayangnya, laboratorium dan peralatan yang dibutuhkan Theresia tak ikut serta diserahkan ke BRIN.
"Waktu saat awal peleburan, KKP ingin memberikan ke BRIN. Tapi Kepala BRIN tidak mau menerima alat-alat itu. Padahal, alat-alat di sana itu mahal sekali. Laboratorium kami itu yang paling bagus untuk pengolahan ikan sama rumput laut. Kalau alat-alat itu jadi besi tua, sayang banget," kata Theresia.
Theresia mengaku sudah meminta Deputi Bidang Infrastruktur Riset dan Inovasi (BIRI) BRIN membangun laboratorium khusus untuk para peneliti eks KKP. Namun, permintaan itu belum juga dipenuhi. Ia dan rekan-rekannya juga kesulitan memakai laboratorium BRIN di Cibinong, Bogor, Jawa Barat, lantaran antrean yang panjang.
"Pakai Elsa juga antre. Misalnya, di Cibinong itu, berapa peneliti yang antre? Semua antre di sana. Kalau dulu di KKP kan kita punya labolatorium sendiri. Jadi, begitu penelitian, langsung dibawa ke laboratorium dan besok pagi bisa keluar. Kalau sekarang, tidak bisa," kata Theresia. Elsa merupakan kepanjangan dari E-layanan sains. Setiap peneliti BRIN, bisa menggunakan Elsa untuk meminjam laboratorium dan peralatan milik BRIN. Layaknya pulsa, ada kuota khusus bagi peneliti. Jika kuota Elsa telah habis, maka peneliti tak bisa lagi mengakses laboratorium dan peralatan.
Theresia mengaku ia dan rekan-rekannya juga bingung menyusun agenda riset lantaran terbatasnya anggaran yang disiapkan BRIN. "Waktu di KKP itu kami dapat di atas Rp150 juta. Itu sudah termasuk buat beli bahan kimia. Sekarang itu, paling rata-rata Rp30 juta sampai Rp40 juta," ungkap dia.
Menurut Theresia, dana riset yang cekak dan minimnya peralatan tak sesuai dengan tuntutan BRIN bagi para peneliti. Pasalnya, peneliti diwajibkan menghasilkan aneka produk riset, mulai dari publikasi di jurnal internasional sampai menghasilkan paten. "Belum lagi ada dorongan bikin purwarupa. Padahal, kalau bicara publikasi jurnal internasional itu, kan biasanya bayar. Bahkan, mahal harganya. Bisa sampai Rp55 juta," kata Theresia.
Persoalan sedikit berbeda diungkap periset Organisasi Riset Elektronika dan Informatika BRIN Goib Wiranto. Goib berkantor di Kawasan Sains dan Teknologi (KST) Samaun Samadikun di Jalan Sangkuriang, Bandung, Jawa Barat.KST Samaun Samadikun merupakan rebranding area kompleks riset milik eks Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) yang juga telah dilebur ke BRIN sejak akhir 2020. KST itu difokuskan untuk riset teknologi informasi dan komunikasi. Semenjak peleburan, menurut Goib, banyak eks peneliti dari Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) serta Badan Teknologi Nuklir Nasional (BATAN) yang bermarkas di Bandung berjubel di KST. Tak seperti dulu, BRIN memberlakukan sistem ruang kerja bersama (co-working space) di kompleks eks pusat riset LIPI itu.
"Ruang co-working space yang ada itu enggak mencukupi. Sekarang itu, parkir saja susah karena banyak orang datang dan tidak cukup. Akhirnya, semua peneliti rebutan. Kalau enggak dapat kursi, ya, sudah," kata Goib kepada Alinea.id, Senin (23/1).
Di kompleks Sangkuriang, ada delapan gedung utama eks LIPI. BRIN telah merobohkan dan tengah membangun ulang sejumlah gedung. Selama pembangunan, mayoritas peneliti diungsikan ke gedung nomor 80 dan nomor 10.
Saat ini, BRIN telah merampungkan fasilitas co-working space di tower 2 gedung Bandung Advance Science and Creative Engineering Space (BASICS) di KST Samaun Samadikun. Namun, menurut Goib, fasilitas co-working di gedung itu tak akan cukup untuk menampung sekitar 600 peneliti dan mahasiswa yang tengah menjalankan riset.
"Dalam waktu dekat ini, semua harus pindah ke tempat baru. Tapi enggak akan cukup. Mahasiswa yang lagi tugas akhir atau riset asisten itu juga banyak sekali. Mereka ini yang tiap hari WfO (work from office) sebetulnya," jelas Goib. Rencana pemindahan peneliti ke gedung baru, lanjut Goib, juga bakal mengganjal progres riset. Pasalnya, peneliti harus memindahkan alat-alat riset dari gedung lama ke gedung baru. Proses bongkar pasang dan format ulang peralatan bisa memakan waktu hingga tiga bulan. "Itu kan jelas mengganggu kerja penelitian," imbuhnya.
Persoalkan kendali peralatan dan laboratorium
Goib juga mempersoalkan tata kelola fasilitas riset di bawah Deputi Infrastruktur. Menurut dia, penggunaan peralatan dan laboratorium kini sepenuhnya harus seizin Deputi Infrastruktur. Para peneliti bahkan dilarang mencoba memperbaiki peralatan yang rusak. "Mereka ini enggak ngerti apa-apa. Ini menjadi sesuatu yang menghambat peneliti sebetulnya. Di satu sisi, peneliti ini yang berhadapan langsung dengan alatnya. Tetapi, dia mau ngapa-ngapain, enggak bisa. Kalau ada apa-apa, harus izin ke deputi dulu. Ini kan jadi konyol," kata Goib.
Secara khusus, Goib menyoroti kebijakan Deputi Infrastruktur untuk memindahkan ambulans dari kompleks Sangkuriang ke gedung eks LAPAN di Jalan Pasteur, Bandung. Ia menyebut langkah itu keliru dan memakan korban jiwa.
Goib bercerita salah satu periset bernama Stefanus Suryo Cahyono meninggal, Jumat (20/1) lalu. Saat tengah sarapan di kantin sekitar pukul 09.00 WIB, Stefanus terkena serangan jantung. Karena tidak ada ambulans, Stefanus dibawa menggunakan mobil pribadi ke rumah sakit terdekat.
"Nyawanya tidak tertolong di jalan. Padahal, jarak dari kantor ke rumah sakit itu enggak ada satu kilometer. Dia terlambat ditolong sekitar tiga puluh menit. Seharusnya memang ada satu (ambulans) yang standby. Tapi sekarang ambulans itu ditaruh di kantor LAPAN. Padahal, di situ enggak ada orang," kata dia.
Sumber Alinea.id yang juga berkantor di KST Samaun Samadikun membenarkan kondisi kerja para peneliti tak kondusif sejak kebijakan co-working space diberlakukan. Jika sedang penuh, ruangan-ruangan di KST Samaun Samadikun berubah layaknya pasar malam.
"Suasana crowded sekali dan kami disuruh pindah-pindah lagi. Sangat terbuka sekali CWS itu, sehingga terkadang ada peneliti yang melakukan rapat di sana. Jadi, sangat riuh. Suasana menjadi tidak kondusif," kata sang sumber saat dihubungi Alinea.id, belum lama ini.
Menurut dia, pemberlakuan kebijakan co-working space tak ditimbang secara matang oleh BRIN. Jika tidak segera dibenahi, ia khawatir fenomena rebutan kursi dan ruang kerja itu memicu riak-riak konflik di antara kalangan peneliti.
"Seharusnya pengelola itu sudah berhitung. 'Oh, ada sekitar 600 orang memilih Bandung.' Minimal harus ada 600 tempat duduk. Terus ditambah lagi dengan untuk CWS cadangan bagi mereka yang dari luar kota. Barangkali, ada yang datang tiba-tiba ke kantor karena sedang ada penelitian di kota Bandung," terang dia. Berjubelnya peneliti di KST Samaun Samadikun, lanjut sumber Alinea.id, juga membuat akses terhadap peralatan dan laboratorium kian terbatas. Ia menyebut para peneliti bahkan kini didorong untuk membatasi penggunaan fasilitas riset.
"Saya membayangkan kalau nanti dibuat antrean ini juga mengubah 100% kerja peneliti karena untuk melakukan penelitian harus antre menggunakan laboratorium. Suasana lab seperti itu pasti tidak kondusif," kata sang sumber.
Sumber Alinea.id juga mempertanyakan rencana pemindahan peralatan dari gedung lama ke gedung baru. Menurut dia, ada banyak peralatan yang sensitif dan rawan rusak jika dipindahkan. Ia berharap Deputi Infrastruktur dan Kepala BRIN meminta masukan dari para peneliti sebelum merilis kebijakan pemindahan alat.
"Soal laboratorium itu dikelola oleh satu kedeputian. Seolah dia yang tahu yang dilakukan peneliti. Lab ini akan ditutup dan harus dipindahkan ke mana dan sebagainya. Kami dalam posisi ketidakjelasan. Sejauh ini, kami belum melihat ada respons dari mereka," kata dia.
Terus dibenahi
Kepala BRIN Laksana Tri Handoko mengatakan BRIN memang tak mengambil alih semua laboratorium dan peralatan riset milik kementerian dan lembaga (K/L) saat peleburan. Ia khawatir pengambilalihan semua aset riset K/L bakal membebani anggaran. Terlebih, jika aset tersebut ternyata tak dibutuhkan BRIN.
"BRIN tidak sekadar melanjutkan program riset yang ada dan dikumpulkan di BRIN. Kami sekaligus mengevaluasi semua riset yang dilakukan. Sebagian besar diintegrasikan karena memang tumpang tindih dan lain-lain. Terkait infrastruktur juga demikian. Tidak semua kami terima karena belum tentu diperlukan," kata Handoko kepada Alinea.id, Selasa (24/1).
berjanji bakal menyediakan semua sarana dan prasarana riset bagi eks peneliti K/L. Syaratnya, proposal riset yang diajukan peneliti telah di-review dan disetujui oleh para pakar. "Yang ditetapkan untuk dibiayai pasti disediakan sarananya di Kawasan Sains dan Teknologi serta Kawasan Sains BRIN," kata Handoko.
Semua laboratorium dan fasilitas riset, lanjut Handoko, hanya akan dibangun di KST atau Kawasan Sains BRIN. Untuk penelitian terkait pembenihan ikan, misalnya, kini telah dipusatkan di KST Soekarno, sebutan baru untuk pusat riset BRIN di Cibinong.
"Memang saat ini belum tersedia karena kami belum tahu kebutuhan tambak dan hatchery (pembenihan) seperti apa. Tapi, membuat itu mudah dan cepat. Pada semester kedua nanti juga sudah bisa tersedia," kata mantan Kepala LIPI itu. Soal co-working space di KST Samaun Samadikun yang diklaim semerawut, kata Handoko, BRIN masih terus membenahinya. "Saat ini, memang belum semua CWS sudah siap. Tetapi, pasti mencukupi karena baru sebagian yang WfO," kata Handoko.
Lebih jauh, Handoko berkata ia telah meminta Deputi Infrastruktur Riset dan Inovasi untuk merombak ruang kerja bersama di KST Samaun Samadikun supaya bisa menampung hingga 800 periset. Jadwal kehadiran peneliti juga akan diatur agar peristiwa saling berebut kursi tidak terjadi.
"Setelah April ini, akan tersedia CWS untuk 800 periset. Nanti yang WfO setiap hari hanya sivitas manajemen pendukung. Kalau periset, umumnya WfA (work from anywhere) dan hanya ada beberapa hari dalam seminggu yang wajib WfO, tergantung pusat risetnya," kata Handoko.
Sementara terkait dengan infrastruktur riset yang berada di KST Samaun Samadikun, Handoko mengaku belum bisa memutuskan rencana pemindahan. BRIN, kata dia, masih memetakan kebutuhan personel yang ada di KST itu. "Karena kondisi saat ini jauh berbeda dengan saat awal gedung dirancang yang hanya untuk LIPI," jelasnya.
Mantan Kepala Inspektorat LIPI Hizkia Sirait menilai konsep co-working space yang diadopsi Kepala BRIN belum sepenuhnya ideal bagi para peneliti. Apalagi, selama ini peneliti terbiasa bekerja dengan privasi dan ruangan pribadi yang eksklusif."Jadi, karena ini masih baru dan belum semua peneliti terbiasa dengan konsep Kepala BRIN. Jadi, memang ada sejumlah masalah terkait infrastruktur riset yang memang butuh waktu bagi peneliti untuk menyesuaikan," kata Hizkia kepada Alinea.id, belum lama ini. Ia juga mengganggap wajar jika tak semua laboratorium dan peralatan riset milik K/L diakuisisi BRIN. Pasalnya, butuh anggaran yang lumayan besar untuk merawat peralatan dan laboratorium. "Enggak murah untuk merawat dan memelihara laboratorium riset itu," ujarnya