Maraknya budaya perjokian di perguruan tinggi untuk pembuatan karya ilmiah, baik sebagai syarat kelulusan akademis hingga pengajuan guru besar turut memprihatinkan. Munculnya perjokian disebut-sebut sebagai budaya mengakar yang diakibatkan banyak faktor.
Peneliti Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Amin Mudzakkir mengatakan, praktik perjokian publikasi ilmiah di dunia akademik sudah terjadi sejak lama dan sulit dihindarkan karena berbagai faktor.
1. Regulasi yang memaksa Regulasi dan ketentuan internasional yang mendesak dosen dan peneliti untuk menerbitkan karya ilmiah di jurnal internasional. "Sistem penilaian akademik Indonesia baik terhadap dosen maupun peneliti membuat para akademisi kita terutama dalam konteks peneliti madya dan utama secara terpaksa menerbitkan jurnal internasional," kata Amin kepada NU Online, Selasa (14/2/2023). Misalnya dalam dunia peneliti, ia mencontoh peneliti golongan madya dan utama yang wajib menerbitkan publikasi karya ilmiah dalam waktu satu tahun dan terindeks scopus. Jika tidak, maka tunjangan kinerja (tukin) mereka akan dipotong.
"(Dan) dalam waktu 4 tahun kalau dia tidak memenuhi target itu harus melepaskan status fungsionalnya sebagai peneliti," jelasnya.
Hal ini pula yang terjadi pada dosen yang ingin naik pangkat menjadi kepala dan guru besar yang harus menerbitkan publikasi internasional berkolaborasi dengan akademisi dari negara lain.
"Mereka terpaksa melakukan perjokian itu lantaran sistem kita memaksa mereka untuk menulis dalam publikasi internasional, sementara ekosistem yang ada belum tersedia," kata Amin. Oleh karena itu, ia mengaku tak heran jika saat ini sebagian akademisi melakukan perjokian dengan memanfaatkan sebagian karya mahasiswanya. "Itu tidak masuk akal tidak terjadi di negara-negara maju. Saya kira yang perlu dikoreksi adalah sistem yang membuat para dosen dan peneliti menempuh berbagai macam cara yang tidak etis," ujarnya.
2. Problem struktural Menurut Amin, praktik perjokian bukan sekadar integritas personal, tapi juga problematika struktural dalam pengelolaan lembaga-lembaga riset dan pengajaran di Indonesia secara umum. Kondisi ini, kata Amin, sebabkan para akademisi terpaksa melakukan tindakan yang ilegal atau tidak etis dalam menerbitkan karya-karya mereka di level internasional. "Terpaksa sebenarnya kalau tidak, tunjangan mereka bisa dipotong bahkan dipecat dari status ASN peneliti atau guru besar. Nah ini jadi tidak sehat sebenarnya dari infrastruktur dan kultur tidak memadai," tandasnya. Sebelumnya, hasil penelusuran tim investigasi Harian Kompas mengungkapkan, sejumlah dosen senior di beberapa kampus terlibat praktik perjokian karya ilmiah demi menyandang gelar guru besar, Jumat (10/2/2023). "Saya sih tidak heran dan tidak terkejut kalau ada laporan dari Kompas mengenai problematik entah itu perjokian atau plagiarisme. Jadi ini ada problematik struktural yang membuat para dosen atau peneliti terpaksa melakukan tindakan yang ilegal dan tidak etis," ucap Amin.
3. Pendidikan sebatas ranking Kebijakan yang memaknai pendidikan sebatas ranking. Penyebab lain menurutnya yakni kebijakan yang memaknai pendidikan sebatas dengan pencapaian ranking dan publikasi ilmiah. "Saya kira ada obsesi yang terlalu berlebihan untuk mengejar ranking atau standar-standar internasional," katanya. Misalnya di perguruan tinggi dan lembaga riset untuk mendapatkan pemeringkatan ranking dunia dibuktikan dengan sitasi jurnal internasional. "Ini kan sebenarnya dunia industri. Munculnya berbagai macam lembaga perangkingan itu sebagian motifnya adalah bisnis," ungkap Dosen Pascasarjana Unusia itu.
Alih-alih menciptakan kondisi atau ekosistem yang mendukung riset dan publikasi, ungkap Amin, lembaga justru dengan cara instan memberikan peluang kepada para peneliti untuk melakukan tindakan yang ilegal.
Muncul komersialisasi jurnal Amin mengungkapkan, selain praktik perjokian muncul fenomena over komersalisasi jurnal. Ada jurnal-jurnal berbayar dengan biaya di kisaran Rp20 juta sampai Rp30 juta untuk tiap artikel yang terbit. "Para akademisi terpaksa mengeluarkan uang puluhan juta baik seorang diri maupun secara kelompok bayar untuk menghindari pemotongan tunjangan atau pemotongan sertifikasi dosen," tuturnya.
Perubahan yang harus dilakukan Menghindari praktik-praktik perjokian kembali terjadi menurutnya perlu dilakukan reformasi besar-besaran terhadap sistem pendidikan dan penelitian nasional. "Jadi jangan dulu terobsesi dengan ranking-ranking nasional itu tanpa memperbaiki kultur, struktur, infrastruktur, dan riset pengajaran kita yang masih jauh dari kata ideal," papar Amin. Misalnya, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) kini dilebur menjadi organisasi riset di Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), pergantian ini mempengaruhi anggaran riset para peneliti. "Saya masuk LIPI tahun 2006 satu tim terdiri dari 5 orang mendapat anggaran sebesar Rp300 juta. Hari ini tahun 2023 justru turun drastis di bawah Rp100 juta bahkan ada yang anggarannya cuma 60 sampai 90 juta untuk 5 peneliti," ungkap Amin.
Anggaran yang tidak sepadan itu mempengaruhi kualitas jurnal. Sebab dalam melakukan penelitian dibutuhkan riset yang mendalam dan publikasi jangka panjang. "Kalau terburu-buru harus publikasi, harus fokus, dan tidak didukung oleh fasilitas serta insentif, iya boro-boro memadai bahkan di bawah standar," jelasnya.
Kontributor: Suci Amaliyah Editor: Fathoni Ahmad