2025-12-27 11:54:44

 

BENCANA, NEGARA, DAN UJIAN RASIONALITAS KEBIJAKAN


Oleh: Syahrir Ika, Ketua Umum PPI/Peneliti Ahli Utama BRIN

 


Secara ontologis, bencana tidak dapat dipahami semata sebagai peristiwa alam. Ia adalah pertemuan antara hukum-hukum alam dan kerentanan manusia. Alam bekerja secara impersonal, tunduk pada kausalitasnya sendiri. Manusialah – melalui pilihan kebijakan, tata kelola, dan kapasitas institusi – yang menentukan apakah suatu peristiwa berubah menjadi tragedi berkepanjangan atau pelajaran kolektif. Filsafat modern, dari Immanuel Kant hingga Hannah Arendt, menempatkan manusia sebagai subjek rasional yang bertanggung jawab atas konsekuensi tindakannya di ruang publik. Dalam kearifan lama dikatakan, “bumi tidak diwariskan dari leluhur, tetapi dipinjam dari anak cucu.” Sejalan dengan itu, dalam kepemimpinan Jepang pasca bencana besar ditegaskan bahwa manusia memang tidak dapat mencegah alam, tetapi negara bertanggung jawab atas bagaimana warganya dilindungi. Di titik inilah, bencana seharusnya dibaca bukan sebagai ujian keberanian politik semata, melainkan sebagai ujian rasionalitas kebijakan negara.

Memahami Status Bencana Nasional dalam Tata Kelola Modern

 

Perdebatan publik mengenai mengapa pemerintah tidak menetapkan bencana di Pulau Sumatera sebagai Bencana Nasional kerap dibingkai secara emosional, seolah negara absen atau pemimpin ragu mengambil keputusan. Padahal, diskursus ini perlu ditarik ke tingkat yang lebih jernih, apa makna “bencana nasional” dalam tata kelola modern, dan apa implikasinya bagi politik, ekonomi, dan fiskal negara? Tanpa pemahaman ini, kritik berisiko menjadi simplifikasi yang justru menutup ruang kebijakan yang rasional.

Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana memang tidak menyebut frasa “status bencana nasional” secara eksplisit, tetapi Pasal 7 ayat (2) menegaskan bahwa pemerintah pusat berwenang menetapkan status dan tingkat bencana nasional dan daerah. Artinya, penetapan status bencana nasional merupakan kewenangan Presiden, yang didasarkan pada pertimbangan dampak dan kapasitas penanganan.

Secara regulatif, bencana diklasifikasikan menjadi bencana alam, non-alam, dan sosial. Namun penentuan status nasional atau daerah tidak bergantung pada jenis bencana, melainkan pada skala dampak dan kemampuan pemerintah daerah untuk menanganinya. Secara normatif dan operasional, bencana nasional dapat dipahami


sebagai peristiwa yang berdampak luas dan melampaui kapasitas fiskal serta institusional daerah, sehingga membutuhkan keterlibatan penuh pemerintah pusat. Dalam praktik kebijakan, penetapan status nasional mempertimbangkan antara lain jumlah korban jiwa, kerusakan fisik dan lingkungan, dampak sosial-ekonomi, luas wilayah terdampak, kapasitas daerah, serta kebutuhan koordinasi lintas kementerian (PP No. 21/2008). Konsekuensinya signifikan, di mana pemerintah pusat dan pemerintah daerah menjadi penanggung jawab utama, APBN dapat digunakan lebih luas dan fleksibel, kewenangan bergeser dari daerah ke pusat, dan BNPB berperan sebagai leading sector nasional.

Status Bencana Nasional dan Risiko Fiskal Negara

 

Dalam perspektif ekonomi politik kebencanaan, penetapan status Bencana Nasional bukan sekadar ekspresi empati negara. Ia adalah keputusan kebijakan tingkat tinggi dengan implikasi struktural. J.M. Albala-Bertrand dalam The Political Economy of Large Natural Disasters (1993) menegaskan bahwa bencana adalah peristiwa politik- ekonomi, karena respons negara mencerminkan bagaimana kekuasaan, sumber daya, dan tanggung jawab didistribusikan dalam sistem pemerintahan.

Dari sisi tata kelola, status nasional menciptakan preseden kebijakan dan menggeser relasi pusat–daerah. Dalam kerangka Fiscal Federalism Theory (Oates, 1972), eskalasi kewenangan ke pusat mengindikasikan bahwa kapasitas daerah dinilai tidak lagi memadai untuk mengelola guncangan berskala besar. Karena itu, status nasional berfungsi pula sebagai evaluasi implisit atas kualitas tata kelola lokal, sebagaimana dibahas luas dalam literatur multi-level governance dan decentralized disaster management. Dengan kata lain, status nasional bukan hanya soal siapa yang membantu, tetapi juga soal siapa yang dinilai mampu.

Dari sisi ekonomi, status “Bencana Nasional” berperan sebagai sinyal kebijakan kepada pasar. Signaling Theory dalam ekonomi kelembagaan (Spence, 1973; North, 1990) menjelaskan bahwa bahasa dan simbol formal negara membentuk ekspektasi aktor ekonomi. Dalam konteks kebencanaan, status nasional memengaruhi persepsi risiko wilayah, respons sektor asuransi, hingga keputusan investasi dan keberlanjutan proyek. Dalam ekonomi global yang sensitif terhadap informasi, istilah kebijakan bukan sekadar retorika, melainkan pesan yang dibaca serius oleh pasar.


Namun dimensi yang paling menentukan – dan kerap luput dari perdebatan publik – adalah dimensi fiskal. Penetapan status Bencana Nasional menempatkan APBN sebagai ultimate bearer of fiscal risk, membuka ruang belanja darurat besar, realokasi lintas kementerian, serta potensi tekanan terhadap defisit. Literatur Fiscal Risk Management, seperti Brixi dan Schick dalam Government at Risk (2002) serta kajian IMF oleh Cevik dan Huang (2018), menegaskan bahwa bencana merupakan contingent liabilities negara, yaitu kewajiban fiskal bersyarat yang belum tentu direalisasikan, tetapi dapat berubah menjadi beban nyata ketika negara mengambil keputusan tertentu.

Dalam kerangka manajemen risiko fiskal modern, negara justru dituntut bersikap selektif dan rasional. Tidak setiap bencana besar harus serta-merta dinasionalisasi, selama masih dapat ditangani melalui mekanisme BNPB, APBD, dan dukungan APBN yang terukur. Negara tidak otomatis wajib menanggung seluruh kerugian akibat bencana, kewajiban itu muncul ketika skala dampak meluas dan negara secara sadar memilih untuk mengeskalasi status. Karena itu, penetapan status Bencana Nasional sejatinya adalah keputusan untuk mengaktifkan contingent liabilities menjadi kewajiban fiskal actual – keputusan yang menuntut kehati-hatian, bukan sekadar keberanian simbolik.

Penutup: Ujian Rasionalitas Kebijakan Negara

 

Perdebatan tentang status Bencana Nasional pada akhirnya menguji satu hal mendasar, apakah kebijakan publik dinilai dari label dan simbol, atau dari rasionalitas keputusan dan efektivitas respons. Membaca kehati-hatian Presiden sebagai “tidak berani” adalah reduksi analitis yang mengabaikan kompleksitas tata kelola kebencanaan modern. Dalam literatur kebijakan publik, sikap ini lebih tepat disebut policy restraint: menahan eskalasi status formal sambil tetap memaksimalkan intervensi substantif negara.

Negara tetap dapat hadir penuh – melalui pengerahan TNI–Polri, logistik nasional, bantuan sosial, dan rekonstruksi – tanpa harus menaikkan status administratif yang berdampak sistemik. Dalam pandangan penulis, “Keberanian kepemimpinan modern tidak diukur dari kecepatan memberi label, melainkan dari kemampuan menimbang risiko jangka pendek dan panjang secara rasional dan berbasis bukti”.


Ke depan, dua agenda perlu diperkuat. Pertama, komunikasi kebijakan kebencanaan agar publik memahami bahwa ketiadaan status Bencana Nasional tidak identik dengan absennya negara. Kedua, pengembangan indikator penetapan status bencana yang objektif, transparan, dan berbasis dampak sosial-ekonomi serta risiko fiskal, bukan tekanan opini sesaat.

 

Bencana akan terus terjadi—itu adalah keniscayaan ontologis. Yang membedakan negara kuat dan negara rapuh adalah bagaimana keputusan strategis diambil: dengan emosi atau dengan pengetahuan. Di sinilah Bencana, Negara, dan Ujian Rasionalitas Kebijakan menemukan maknanya—bahwa riset, nalar akademik, dan kepemimpinan berbasis bukti harus menjadi fondasi kebijakan publik Indonesia ke depan.