2023-01-28 10:46:10

Peneliti Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Poltak Partogi Nainggolan mengeluh lantaran tak ada anggaran untuk publikasi jurnal bereputasi internasional. Padahal, menurut mantan peneliti di DPR itu, untuk sekali publikasi karya ilmiah di jurnal internasional perlu biaya tak sedikit.

“Jurnal beragam (biayanya). Mulai dari yang termurah Rp7,5 juta hingga Rp100 juta lebih,” ujar Partogi kepada Alinea.id, Selasa (10/1).

Antara biaya besar dan kewajiban

Peneliti Organisasi Riset (OR) Tata Kelola Pemerintahan, Ekonomi, dan Kesejahteraan Masyarakat BRIN, Hadi Supratikta pun merasa, kewajiban publikasi jurnal internasional telah menjerat ke arah bisnis publikasi jurnal global. Pasalnya, tak ada jurnal internasional yang gratis 100%.

Mantan peneliti Badan Penelitian dan Pengembangan (Balitbang) Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) itu melihat, publikasi jurnal internasional sudah jadi “alat paksa” BRIN. Jika tak melakukan publikasi, peneliti siap-siap menerima pemotongan tunjangan kinerja.

"Padahal jurnal internasional itu mesti bayar," kata Hadi, Selasa (10/1).

Ia memandang, seharusnya aturan kewajiban publikasi jurnal internasional dipertimbangkan ulang karena mencekik peneliti. "Mestinya kalau wajib, harus ada dananya. Membuat jurnal internasional berkualitas, perlu waktu dan dana riset yang besar," ucap Hadi.

Hadi menerangkan, publikasi jurnal internasional menjadi angka kredit paling tinggi di BRIN, setelah menjadi pembicara kunci di forum ilmiah. Akhirnya, banyak peneliti takut kehilangan angka kredit, yang berujung pemotongan kinerja.

Padahal, dahulu saat masih menjadi peneliti Kemendagri, Hadi mengatakan, ada banyak komponen yang dijadikan angka kredit untuk menilai kinerja periset. Salah satunya, sumbangsih naskah kebijakan.

Peneliti OR Tata Kelola Pemerintahan, Ekonomi, dan Kesejahteraan Masyarakat di BRIN lainnya, Riris Katharina mengungkapkan, kewajiban publikasi jurnal internasional membuat posisi peneliti serba salah. Selain memerlukan dana besar, kondisi ini pun diperparah dengan aturan publikasi jurnal internasional yang menjadi standar hasil kerja minimal dan bisa memberhentikan peneliti bila tak membuatnya dalam waktu dua periode alias empat tahun.

“Dulu, kami peneliti dari K/L (kementerian/lembaga) sempat khawatir karena tidak punya pengalaman yang memadai untuk publikasi jurnal internasional,” ujarnya.

“Waktu itu dijanjikan oleh Kepala BRIN akan menciptakan ekosistem riset yang support untuk kebutuhan publikasi itu. Nyatanya, ekosistem yang dijanjikan belum tampak.”

Ia mengaku, agak sulit menyelesaikan riset standar internasional dalam waktu setahun. Apalagi peneliti juga dibebankan urusan administrasi ketika turun ke lapangan dan menjadi pelaksana kegiatan seminar, yang menyita waktu dan tenaga.

Dihubungi terpisah, periset Pusat Riset Konversi dan Konservasi Energi BRIN, Arya Rezavidi merasa, pendanaan riset yang serba cekak di BRIN, tak cocok untuk membuat inovasi teknologi kunci. Terlebih, harus membuat karya tulis ilmiah level internasional.

“Sekarang ini, anggaran riset itu kecil-kecil. Ada yang cuma Rp30 juta sampai Rp40 juta,” ucapnya, Selasa (10/1). “Terus kita dituntut untuk menulis jurnal yang istilahnya Q1, berbayar.”

Meski menulis jurnal internasional itu kewajiban pribadi, tetapi katanya, tujuan utamanya untuk menaikan posisi Indonesia di dunia internasional. “Bahwa kita menunjukkan, kita bisa maju. Semestinya anggaran untuk publikasi jurnal internasional disiapkan di BRIN," ujarnya.

Arya tak memungkiri, ada jurnal internasional yang tidak berbayar. Namun, jurnal gratis terkadang kualitasnya tak bagus. “Sekalipun bagus, ada persyaratan yang rumit, yang harus dipenuhi periset,” tuturnya.

Arya juga tak yakin, dana riset saat ini mampu untuk melakukan penelitian yang menelurkan jurnal Q1 dan Q2. “Kalau memang kita ingin penelitian yang serius, ya pasti akan memakan waktu yang lama, kecuali memang ingin meneliti hal-hal yang ecek-ecek,” ujarnya.

“Kalau melihat anggaran yang sekarang, bisa jadi hanya penelitian yang ecek-ecek untuk inovasi teknologi kunci.”

Mantan perekayasa ahli utama Pusat Teknologi Material BPPT, I Nyoman Jujur punya cara menyiasati kewajiban jurnal internasional yang berbayar, dengan menggandeng peneliti dari kampus untuk bekerja sama.

Ia menyebut, kolaborasi dengan pihak kampus, membuat dana publikasi jurnal lebih enteng. Sebab, biaya ditanggung bersama dengan kampus, yang punya alokasi anggaran untuk publikasi jurnal.

"Dosen di kampus itu sudah terbiasa melakukan riset tanpa berbayar. Jadi kita belajar dari sana bagaimana memperkuat hal itu," ucap Nyoman, Senin (9/1).

Meski begitu, Partogi mengatakan, sistem penilaian kinerja riset di BRIN yang terlalu berfokus pada publikasi jurnal internasional telah membuat penelitian tidak sehat. Sebab, banyak peneliti yang sebenarnya belum mampu menggarap riset jurnal internasional akhirnya numpang nama di penelitian orang lain, agar dianggap melakukan kerja-kerja riset dan terhindar dari pemotongan tunjangan kinerja.

“Sebenarnya, dengan tulisan yang dipublikasikan di jurnal internasional itu, BRIN justru bisa menghasilkan peneliti palsu,” ujarnya.

“Karena masih harus dicek dan dievaluasi, apakah itu benar-benar karya orisinal hasil kerja sama yang benar dan jujur, jika itu produk tim atau karya keroyokan yang manipulatif karena banyak free rider atau black passenger-nya.”

Ia mengaku sudah menjadi “korban” dari sistem publikasi internasional yang “barbar”. Penyebabnya, hasil jerih payahnya melakukan riset untuk jurnal internasional juga mengalami praktik “nebeng” dari peneliti lain yang belum mampu melakukan publikasi.

"Seharusnya kita malu dan mau secara jujur mempertanyakan, mau ke mana dunia riset Indonesia?" ucap Partogi.

Menurutnya, jurnal hasil riset maksimal ditulis dua orang peneliti. Praktik “numpang nama” dalam dunia penelitian, menurut Partogi, bisa menjadi aib yang merusak reputasi BRIN.

Selain itu, Partogi memandang, publikasi jurnal internasional sama saja menyerahkan ide negara kepada pihak luar, yang tak ingin bermodal untuk melakukan riset sendiri di Indonesia.

“Alangkah naif dan meruginya kita, jika setiap analisis terbaru atas berbagai kebijakan nasional harus segera dipublikasikan di berbagai jurnal internasional,” katanya.

“Karena semua itu berbagai kebijakan nasional strategis yang merupakan kepentingan negara dan bisa bernilai konfidensial, selain mahal.”


Menyamakan kerja peneliti dan perekayasa?

Menurut Partogi, target riset di BRIN yang membebankan publikasi jurnal internasional membuat pola kerja sebagian peneliti tidak selaras. Soalnya, tak semua peneliti dan perekayasa yang bergabung ke dalam BRIN, punya orientasi yang sama dalam melakukan riset.

Perekayasa, kata dia, punya kekhasan membuat pengembangan teknologi kunci, bukan membuat publikasi ilmiah berupa jurnal. Akibatnya, banyak di antara mereka yang kebingungan. Sedangkan eks peneliti di kementerian lebih berfokus melakukan riset kebijakan yang berorientasi pada naskah kebijakan.

“Kesalahan dimulai saat dilakukan peleburan 11 jabatan fungsional dengan output yang sama karena dari awal setiap jabatan fungsional punya tujuan dan output yang berbeda,” tuturnya.

“Kepala BRIN juga tak konsisten. Mana kesiapan infrastruktur yang dijanjikan saat menyusun UU Sisnas Iptek (Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2019 tentang Sistem Nasional Ilmu Pengetahuan dan Teknologi) itu, khususnya penyediaan dana riset yang optimal?”

Arya pun menilai, penyeragaman hasil kerja antara peneliti dan perekayasa tidak tepat. Sedari awal, orang yang berkarier sebagai perekayasa terlatih membuat teknologi kunci untuk kebutuhan industri dalam negeri.

"Tetap harus ada pembedaan, dari lembaga litbang dengan lembaga pengkajian dan penerapan," kata Arya.

Perekayasa, jelas Arya, tak melakukan riset selayaknya peneliti yang mencari unsur kebaruan. Namun, inovasi dari temuan yang sudah diciptakan untuk bisa diproduksi sendiri dengan kemampuan industri nasional.

“Sebagai contoh, pesawat. Sudah ada teknologinya yang buat. Tapi, kita pelajari teknologi kunci, agar kerangka pesawat bisa dibuat oleh industri dalam negeri,” katanya.

Sementara itu, Nyoman yang berkolaborasi dengan kampus mengatakan, perekayasa bisa membagi beban kerja seperti menulis, dengan peneliti yang rata-rata dosen. Sedangkan, ia mengolah data untuk dijadikan jurnal.

“Karena peluang itu diberikan oleh BRIN, jadi manajemen talenta itu banyak program, melalui riset asisten dari mahasiswa, yang S2 dan S3 itu kami manfaatkan,” kata Nyoman.

Kerja membuat teknologi kunci, ujar Nyoman, bisa “dikawinkan” dengan penelitian pihak kampus, sehingga melahirkan dua produk, yakni jurnal ilmiah dan teknologi kunci. Dengan begitu, tanggung jawab sebagai periset BRIN, terutama publikasi jurnal internasional, bisa terpenuhi.

“Karena kami terbiasa bekerja dengan produk contoh, kita nyari. Kemudian kita temukan teknologi kuncinya,” ujarnya.

“Lalu, kita riset supaya bisa dimanfaatkan oleh mitra industri. Nah, rekan-rekan dari perguruan tinggi jadi lebih tajam dari sisi akademik.”

Anggota Komisi VII DPR dari fraksi PKS Mulyanto mengatakan, tak cocok bila semua kerja penelitian menjurus ke publikasi jurnal internasional. Sebab, perlu ada pengembangan teknologi agar bisa digunakan industri.

Mulyanto menuturkan, jika semua penelitian hanya menghasilkan jurnal internasional, tanpa ada tindak lanjut penerapan teknologi, maka sangat mungkin BRIN akan jadi lembaga menara gading yang tidak serasi dengan industri.

Di samping itu, fungsional perekayasa dan peneliti mestinya punya acuan penilaian yang berbeda. Karena, kata Mulyanto, ruang lingkup kerja mereka berbeda.

"Saya juga mendapat pengaduan serupa dari para perekayasa, khususnya mantan perekayasa BPPT (Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi),” tuturnya, Selasa (10/1).

Terpisah, Kepala BRIN Laksana Tri Handoko membantah bila publikasi jurnal internasional menjadi satu-satunya acuan angka kredit periset di BRIN. Ia berkata, ada aneka kekayaan intelektual yang bisa dijadikan indikator kinerja, seperti paten dan sejenisnya.

“Publikasi di jurnal itu hanya salah satu pilihan. Bisa (juga) paten atau PVT (perlindungan varietas tanaman). Jadi, tidak ada wajib publikasi karena itu hanya salah satu dan bisa memilih sesuai karakter topik risetnya,” ujarnya, Selasa (10/1).

Menurutnya, yang diseragamkan adalah target menghasilkan kekayaan intelektual. “Karena itu adalah bukti otentik klaim teknologi kunci,” ucapnya.

Ia menjelaskan, saat ini merancang teknologi kunci tak cukup dengan menghasilkan produk, tetapi juga perlu didukung kekayaan intelektual sebagai basis bukti ilmiah. “Jadi, indikator kinerja KI (kekayaan intelektual) itu adalah bukti ilmiah dari klaim teknologi kunci yang dibuat,” tuturnya.

Kekayaan intelektual itu tetap bisa dihitung sebagai angka kredit. Bahkan, kata dia, untuk perekayasa angka kredit membuat kekayaan intelektual jauh lebih besar ketimbang membuat jurnal lantaran bisa berdampak besar terhadap industri nasional.

Lebih lanjut, Handoko menjelaskan, tak adanya anggaran untuk publikasi jurnal internasional karena ia sengaja tidak memperkenankan periset untuk membayar publikasi.

“APC (article processing charge di jurnal) itu ada opsional, tidak wajib di hampir semua jurnal utama seluruh bidang,” kata dia.

“Jadi, sebenarnya memang tidak perlu ada biaya publikasi. Larangan APC ini karena berpotensi menjadikan periset kita ditarget oleh jurnal ‘predator’.”

Di sisi lain, Handoko mengatakan, sebenarnya perekayasa tak hanya diwajibkan membuat dokumen catatan pelaksanaan kegiatan, sejak berlaku Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara/Reformasi Birokrasi (Permenpan/RB) Nomor 14 Tahun 2021, yang terbit pada Mei 2021. BRIN pun harus mengikuti aturan tersebut.

“Perubahan regulasi ini diproses waktu era masih BPPT, jadi bukan sejak di BRIN,” katanya. "Sekali lagi, yang ubah regulasi itu BPPT, bukan BRIN. Saya hanya terima regulasi.”